Masyarakat Nusantara telah memiliki tradisi pendidikan sejak sebelum nama Indonesia datang, salah satunya pesantren yang kini justru tak diakui sebagai sistem pendidikan formal ala pemerintah. Menurut KH A Mustofa Bisri (Gus Mus), kondisi ini merupakan buah dari penjajahan yang sudah berlangsung sejak lama.
Menurut Gus Mus:
“Konsep pendidikan kita ini dikaburkan pertama kali oleh kolonialis Barat. Bukan hanya menjajah rakyatnya saja tapi juga menginjak-injak sistem pendidikan kita. Belanda itu memisahkan ilmu menjadi dua, ilmu umum dan ilmu agama,”
“Konsep pendidikan kita ini dikaburkan pertama kali oleh kolonialis Barat. Bukan hanya menjajah rakyatnya saja tapi juga menginjak-injak sistem pendidikan kita. Belanda itu memisahkan ilmu menjadi dua, ilmu umum dan ilmu agama,”
Pemisahan semacam ini, kata Gus Mus, kemudian diadopsi oleh pemerintah kita. “Ilmu umum menjadi sekolah-sekolah negeri, dan ilmu agama terdapat di madrasah dan pondok pesantren. Padahal Islam tak membedakan antara ilmu agama dan ilmu umum,”. Gus Mus pun mengkritik keberadaan toko buku yang tak menyediakan kitab, atau toko kitab yang tak menyediakan buku. Padahal antara buku dan kitab, sama-sama sumber keilmuan. “Kitab” artinya buku, dan buku jika dibahasaarabkan menjadi “kitab”.
“Ada kelucuan-keluacuan yang dianggap tak lucu di negeri ini. Di toko buku kita tak bisa menjumpai kitab. Dan di toko kitab, kita tak menjumpai buku. Kitab ayah saya tak bisa dijumpai di toko buku, sedangkan buku-buku saya malah sebaliknya, tidak bisa dibeli di toko-toko kitab,” terang Gus Mus.
Sesungguhnya kolonial membangun sekolah adalah hanya untuk mendapati pegawai terdidik dengan upah yang murah. Gus Mus tentu tak sepaham dengan agenda pemerintah yang meloloskan sistem sekolah ala koloni menjadi sistem pendidikan nasional. Menurutnya, ini hanya akan mencetak dua jenis generasi yang saling bertolak belakang.
“Maka yang satu pandai soal urusan dunia namun tidak tahu agama, dan yang satu lagi pandai agamanya namun bodoh urusan dunianya. Akhirnya para ahli dunia membodohi yang ahli agama,” sesal Gus Mus.
Lebih lanjut, Gus Mus menyarankan agar nilai rapor murid tidak hanya mengedepankan pada aspek penilaian mata pelajaran umum, tapi juga agama. “Kalau pelajaran umum, biji-nya (nilainya) sangat teliti. matematika, biologi, gurunya selalu teliti. Tapi kalau tentang kelakuan, tidak perlu teliti. Biasanya satu sekolah sama nilainya, B. Sebab mau dikasih A terlalu tinggi, mau dikasih biji C kasihan. Kalau guru tahu persis kemampuan matematikanya, masak tidak tahu karakter muridnya?” keluh Gus Mus terhadap tradisi rapor di sekolah.
Menurutnya, hal ini menandakan bahwa akhlakul karimah dinilai tidak penting, sebab nilainya diabaikan tak seteliti saat guru menilai pelajaran umum. “Yang penting itu berprestasi. Pemerintah ndak butuh generasi berkahlak. Tidak berakhlakul karimah saja, orang-orang sudah bisa menjadi anggota DPR. Pemerintah tidak butuh orang ahli agama, orang yang berakhlakul karimah. Sampai lirik lagu ‘itulah tandanya murid yang budiman, diganti itulah tandanya murid berprestasi’,” sindir Gus Mus pada dunia pendidikan kita.
Sumber: NU Online
Sumber: NU Online
Demikian semoga bermanfaat.(Plt,Gr)
Posting Komentar untuk "Inilah Pandangan Gus Mus Terhadap Konsep Pendidikan Nasional"